Selain itu juga berpotensi memicu munculnya konflik dan gangguan keamanan di tempat pemungutan suara (TPS), hilangnya kesempatan memilih bagi masyarakat, serta mengancam penyelenggara pemilu masuk penjara.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, mengatakan, kondisi seperti itu bisa terjadi apabila stok surat suara dan surat suara cadangan ternyata tidak mencukupi untuk diberikan kepada pemilih.
"Andai saja KPU memastikan seluruh surat suara yang dicetak dan didistribusikan berkualitas baik, maka tentu hal ini tidak akan terjadi," katanya di Jakarta, Jumat (21/3).
Menurut Said, setidaknya ada tiga kategori pemilih yang berpotensi tidak memeroleh surat suara di TPS nantinya. Yaitu pemilih yang keliru mencoblos, pemilih yang mendapatkan surat suaranya cacat atau rusak, dan pemilih khusus yaitu pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT namun diperbolehkan memilih dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
"Berdasarkan Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU Pemilu, pemilih yang keliru memberikan suara dan pemilih yang menerima surat suara cacat atau rusak dari KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dijamin mendapat surat suara pengganti," ujarnya.
Sementara bagi pemilih khusus, kata Said, Pasal 159 ayat (1) huruf c, juga menjamin mereka untuk mengikuti pemungutan suara. Surat suara pengganti dan surat suara untuk pemilih khusus diambil dari alokasi surat suara cadangan.
"Problemnya, surat suara cadangan yang tersedia di TPS jumlahnya sangatlah terbatas. Di tiap TPS, surat suara cadangan yang dialokasikan hanya dua persen dari DPT. Sekalipun menurut UU Pemilu jumlah pemilih di tiap TPS maksimal adalah 500 orang, tapi pada praktiknya, jumlah DPT di suatu TPS seringkali tidak sampai setengahnya," ujar Said.
Berdasarkan pemantauan Sigma pada Pemilu 2009, misalnya, ditemukan banyak TPS yang jumlah DPT-nya kurang dari 200 pemilih.
Artinya Jika DPT di suatu TPS hanya berjumlah 200 pemilih, misalnya, maka surat suara cadangan yang tersedia di TPS, kata Said, hanya empat lembar. Sehingga apabila ada 10 pemilih yang salah mencoblos atau menerima surat suara yang rusak, maka akan ada enam orang pemilih gagal mencoblos. Lantaran kehabisan surat suara cadangan.
"Jika di TPS tersebut katakanlah ada empat pemilih khusus, maka jumlah pemilih yang gagal menggunakan hak pilihnya di satu TPS menjadi sepuluh orang," katanya.
Apabila kondisi itu terjadi di sepuluh persen TPS yang ada di seluruh Indonesia yang berjumlah 546.278 buah, maka artinya akan ada setengah juta lebih pemilih yang terpaksa gagal menggunakan hak pilihnya.
Jadi, lanjutnya, dengan banyaknya temuan surat suara yang rusak dan terbatasnya surat suara cadangan, maka Pemilu 2014 berpotensi mengalami defisit surat suara. Di mana kondisi tersebut bisa memicu terjadinya konflik dan menimbulkan gangguan keamanan di TPS.
"Hak pilih masyarakat pun menjadi tidak lagi terjamin. Kalau sudah begitu, maka jelas ada pelanggaran hak asasi manusia dan muncul kerugian bagi pemilih," katanya.
Said menilai, apabila pemilih yang kehabisan surat suara memersoalkan hal itu, maka anggota KPPS dan anggota KPU bisa dikenakan pasal pidana Pemilu.
Dalam Pasal 282 UU Pemilu disebutkan, kepada KPPS yang tidak memberikan surat suara pengganti kepada pemilih yang menerima surat suara yang rusak, bisa dipidana kurungan maksimal satu tahun ditambah denda paling banyak Rp 12 juta.
Bahkan jika menggunakan ketentuan Pasal 292 UU Pemilu, komisioner KPU sebagai pihak yang bertanggungjawab menyediakan surat suara kepada pemilih bisa dipenjara sampai dengan dua tahun ditambah denda hingga Rp 24 juta, apabila pada kenyataannya tidak mampu menyediakan surat suara bagi pemilih.
Sumber: rmolsumsel.com
0 comments:
Posting Komentar