Kabut asap yang menlanda riau menjadi persoalan kesehatan yang sangat serius. Faktanya kabut asap yang begitu tebal dapat mengakibatan gangguan aliran pernafasan pada manusia.


Kabut Asap Riau Kembali,  Kesehatan Warga Memburuk


Antarariau.com - Beberapa pekan terakhir, cuaca di Ibu Kota Provinsi Riau, Pekanbaru, begitu panas, membuat rumput ilalang di hamparan mengering dan menguning. Kondisi serupa juga terjadi di berbagai wilayah kabupaten/kota di Riau, ketika kemarau kembali datang memberikan ancaman terbakarnya hutan dan lahan penyebab kemunculan bencana kabut asap, sama seperti sebelumnya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru memprakirakan sebagian besar wilayah Riau telah memasuki puncak musim kemarau, menyebabkan kekeringan untuk berbagai kawasan, bahkan sungaipun mengalami penyusutan debit air. "Suhu udara di Riau sejak beberapa pekan ini berkisar antara 35 hingga 36 derajat celsius, dan mulai mendekati situasi ekstrem di angka 37 derajat," kata Analis BMKG, Ardhitama, Selasa (24/6).

Dia menjelaskan, prakiraan cuaca juga masih menunjukkan kondisi minim pembentukan awan yang berarti potensi hujan sangat tipis terjadi untuk berbagai wilayah di Riau. Kondisi tersebut menurut analis menyebabkan peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan kian meningkat.

Dalam satu pekan terakhir, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan grafik dominan peningkatan titik panas (hotspot) di daratan Sumatera khususnya Provinsi Riau. Titik panas merupakan hasil rekaman satelit dari suhu udara di atas 40 derajat celsius yang patut diduga sebagai peristiwa kebakaran hutan dan lahan.

Tiga hari lalu Satelit NOAA 18 milik Amerika Serikat yang dioperasikan Singapura merekam kemunculan 61 titik panas di Riau, namun angka tersebut terus bertambah seiring dengan kemarau panjang yang terjadi di daerah ini. Terakhir pada Rabu (25/6) pagi, Satelit Modis Terra dan Aqua merekam kemunculan titik panas di daratan Pulau Sumatera mencapai 386 titik, terbanyak masih di Riau yakni 336 "hotspot".

Kabupaten Rokan Hilir menjadi penyumbang titik panas terbanyak di Riau, yakni mencapai 221 titik dan di bengkalis mencapai 68 titik. "Hotspot" juga terekam satelit berada di wilayah Kota Dumai sebanyak 50 titik, Pelalawan ada 19 titik, dan Indragiri Hilir serta Kabupaten Kuantan Singingi masing-masing tiga titik panas.

Sementara di Kabupaten Indragiri Hulu hanya terdeteksi satu titik panas. Dari ratusan titik panas tersebut, yang memiliki tingkat kepercayaan sebagai peristiwa kebakaran hutan dan lahan hingga 70 persen ada sebanyak 233 titik, meliputi Rokan Hilir (130 titik), Bengkalis (41), Dumai (33), Pelalawan (7) dan Indragiri Hulu (1 titik).
    
Upaya Antisipasi
Kepala Divisi Informasi dan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo mengatakan, BNPB bersama tim kesatuan dalam tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan serta bencana kabut asap sejauh ini masih terus memonitor perkembangan titik panas di Riau.

"Upaya antisipasi juga terus dilakukan seperti penerapan teknologi modifikasi cuaca maupun water bombing," katanya. Menurut data lembaga tersebut, sepanjang Mei hingga Juni 2014, tim telah melakukan upaya hujan buatan dengan menabur 340.040 kilogram garam (NACL) atau 115 kali sorti.

Sementara untuk bom air (water bombing), dalam rentan waktu yang sama juga telah dioperasikan dengan sebanyak 8.209 kali atau 246 sorti. Namun sejauh ini dilaporkan peristiwa kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi di berbagai wilayah kabupaten/kota di Riau, bahkan telah menyebabkan kabut asap kembali menutupi sejumlah kawasan.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru, Sugarin menyatakan asap akibat kebakaran lahan dan hutan yang mulai melanda daerah pesisir Provinsi Riau, namun belum sampai ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. "Tapi kalau pemerintah tidak cepat mengantisipasi dan titik panas makin banyak, maka sangat berpotensi terbawa angin ke sana," kata Sugarin.

Menurut dia, BMKG sudah sejak lama memberikan peringatan dini terkait potensi kebakaran yang meningkat, dan pola arah angin yang mengarah ke Selat Malaka. Ia mengatakan secara umum arah angin kini berhembus dari Tenggara dan berbelok arah ke Timur setelah melintasi garis ekuator.

Pola hembusan angin tersebut akan membawa asap hingga mencemari negara tetangga seperti yang terjadi pada 2013, apabila pemerintah terlambat mengantisipasi kebakaran lahan dan hutan. "Apalagi terjadi peningkatan suhu udara yang rata-rata di atas 35 derajat celcius, bahkan di Dumai sempat mencapai 37 derajat. Jadi potensi kebakaran sangat tinggi, dimana hujan sangat minim," katanya.

Ia mengatakan, kondisi kering dan panas saat ini masih belum mengindikasikan dampak dari El Nino. Sebab, berdasarkan analisa BMKG masih menunjukan pengaruh El Nino masih relatif lemah ke arah "moderate". "Dampak El Nino baru bisa dikatakan ada dan terasa ketika analisa menunjukan pengaruh yang kuat seperti yang terjadi pada 1997. Apa yang terjadi sekarang adalah kerena pengaruh musim kemarau," katanya.

Gubernur Riau Annas Maamun sebelumnya juga telah mengumpulkan para bupati dan wali kota untuk membahas penanggulangan benacana kabut asap. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah adalah dengan membentuk tim peduli api di tiap desa, terutama yang memiliki tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.

Perkuat Penegakkan Hukum
Sejumlah aktivis lingkungan dari Jaringan Kerja Penyalamat Hutan Riau, Wahana Lingkungan Hidup dan Greenpeace meminta pemerintah Indonesia untuk secara nyata memperkuat penegakan hukum untuk melawan ancaman kebakaran lahan dan hutan serta deforestasi di Provinsi Riau yang selama ini menjadi bencana rutin setiap tahun.

"Ada bukti yang secara signifikan menunjukan bahwa penegakan hukum yang gencar dilakukan pada tahun 2007 sangat berdampak signifikan terhadap penurunan titik panas dan deforestasi, dan itu sebenarnya menjadi jawaban masalah kita selama ini," kata Koordinator Jikalahari, Muslim Rasyid.

Kapolda Riau pada 2007 yang dijabat oleh Irjen Pol Sutjiptadi pernah membuat gebrakan untuk membongkar kasus pembalakan liar yang melibatkan belasan perusahaan kehutanan di Riau.

Muslim menilai ketegasan aparat hukum saat itu sangat berpengaruh terhadap menurunnya angka deforestasi dan jumlah titik panas yang menjadi indikator kebakaran hutan dan lahan. Bahkan, pada saat itu kemunculan kebakaran relatif kecil dan tidak sampai menimbulkan bencana asap yang merugian masyarakat dan pelaku usaha.

Muslim mengatakan, tahun 2007 merupakan tahun terendah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Jumlah titik panas (hotspot) menunjukan angka yang terendah dalam kurun 10 tahun terakhir yang saat itu mencapai 4.095 "hotspot". Padahal, pada tahun 2006 kebakaran besar melanda Riau dengan jumlah "hotspot" mencapai 11.118 titik.

Pada kurun waktu tersebut, lanjut kata dia, angka deforestasi atau pengurangan luasan hutan juga pada tingkat terendah yakni 183.295 hektar atau laju per tahunnya sekitar 91.000 hektar. "Sangat jauh dibandingkan dengan sebelum dan setelahnya yang laju deforestasi bisa dua kali lipatnya," kata Muslim.

Ia melanjutkan, konsistensi penegakan hukum tidak terjadi setelah masa kepemimpinan Kapolda Sutjiptadi. Bahkan, Kapolda Riau selanjutnya menghentikan penyidikan terhadap 13 perusahaan yang terindikasi melakukan pembalakan liar.

Lemahnya penegakan hukum akhirnya memicu maraknya kebakaran lahan dan hutan yang terlihat dari pertambahan angka "hotspot" pada 2011 mencapai 6.624 titik, kemudian pada 2012 sebanyak 7.840, dan mencapai 15.059 titik panas pada 2013 saat terjadi bencana asap yang turut mencemari Singapura dan Malaysia.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan, mengatakan belum melihat adanya upaya yang membuahkan hasil nyata dari segi penguatan kelembagaan, regulasi, maupun penegakan hukum dari pemerintah pusat dan daerah untuk pencegahan bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Indonesia, khususnya di Riau.

Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Yuyun Indradi, mengatakan Greenpeace mendorong agar pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam sisa masa baktinya harus memperkuat Rancangan Peraturan Pemerintah untuk melindungi ekosistem lahan gambut basah, bahwa semua lahan gambut terlarang bagi peruntukan kelapa sawit, bubur kertas dan perkebunan lainnya.

        
Penetapan Ratusan Tersangka   
Kapolda Riau Brigjen Condro Kirono mengatakan, pihaknya telah dengan serius untuk melakukan penegakkan hukum, menangkap para pelaku kejahatan kehutanan termasuk pembakar lahan.

Data Polda Riau menyebut, sepanjang 2014, aparat telah menetapkan sebanyak 170 tersangka pembakar hutan dan lahan, serta pelaku perambahan dan pembalakan liar. Sebanyak 116 di antaranya ditangkap saat operasi yang digelar sejak Januari hingga Maret 2014 sementara sisanya yakni 54 orang ditetapkan sebagai tersangka sejak April hingga 24 Juni 2014.

Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo mengatakan, untuk kasus perambahan dan pembalakan, patut diindikasi juga pelakunya akan melakukan pembakaran untuk pembersihan kemudian mengalihfungsikan hutan menjadi kawasan perkebunan.

Jumlah ini, kata dia, bertambah dari sebelumnya yang masih 34 tersangka, dan kemungkinan akan terus bertambah. "Sementara untuk proses hukumnya ditangani di masing-masing resor pada kabupaten/kota, terbanyak di Bengkalis dan Rolkan Hilir serta Kota Dumai," katanya.

Guntur mengatakan, sejauh ini operasi kebakaran hutan dan lahan masih terus digencarkan sebagai bentuk pencegahan dini. Ia menjelaskan, pelakunya akan ditangkap dan diproses hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Kepolisian Daerah Riau juga telah menerjunkan Satuan Brimob untuk membantu dalam upaya pemadaman titik kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah kabupaten dan kota. "Untuk di seluruh kabupaten atau kota yang ada kebakaran lahan, telah diperbantukan masing-masing satu pleton anggota Brimob," kata Guntur lagi.

Ia menjelaskan, pasukan Brimob tersebut akan menjalankan sejumlah misi yang telah dibebankan, termasuk juga membantu dalam upaya pemadaman titik kebakaran hutan atau lahan.

AKBP Guntur mengatakan, khusus untuk Kabupaten Rokan Hilir, ada penambahan lebih banyak pasukan Brimob. "Jumlahanya tidak pasti, bisa 110 atau 120 orang yang jelas ada sebanyak satu Satuan Setingkat Kompi (SSK)," ungkap Guntur.

Ia mengatakan, tambahan pasukan di Rokan Hilir karena di daerah itu terbanyak ditemukan titik panas (hotspot) dan kebakaran lahan. Guntur mengatakan, selain membantu upaya pemadaman, para anggota Brimob tersebut, juga akan menggelar operasi untuk memburu para pelaku pembakar hutan dan lahan.

Hancurkan Rumah Kehidupan
Pengamat lingkungan dari Universitas Riau (UR), Tengku Ariful Amri menyatakan, peristiwa kebakaran yang melanda daerah ini secara terus menerus adalah bentuk penghancuran rumah kehidupan yang nyata.

"Kami melihat, ketika hutan sudah habis orang pun mulai masuk ke kawasan-kawasan terlarang yang dilindungi oleh undang-undang. Seperti hutan lindung nasional, cagar biosfer dan lainnya," kata Amri. Sebab itu, demikian Amri, kami melihat penghancuran rumah kehidupan ini sudah menjadi sebuah kenyataan, karena semua pihak sudah mendapatkan atau merasakan dampak yang terjadi hingga saat ini. Selain itu, perusakan rumah kehidupan ini juga akan berdampak pada kehidupan masa depan semua makhluk hidup, mulai dari manusia, hewan maupun tumbuhan.

Buat manusia dengan akal dan fikirannya, ia akan mampu mengantisipasinya walaupun kondisinya semakin sulit. Namun buat hewan dan tumbuhan, kata dia lagi, telah begitu nyata yakni berupa kepunahan dan berbagai spesies mulai hilang dari muka bumi ini.

"Dengan kepunahan keanekaragaman hayati baik fauna maupun flora, ini akan menghancurkan kehidupan manusia secara abadi," katanya. Maka menurut dia, kebakaran lahan yang rutin terjadi setiap tahunnya ini, sama halnya dengan penghancuran rumah kehidupan baik itu manusia, flora maupun fauna. Secara fisik dan kemampuan, demikian Amri, manusia memang satu-satunya makhluk yang akan bertahan hidup lebih lama.

Namun dengan percepatan punahnya keanekaragaman hayati, itu juga menurut dia akan mempercepat kelumpuhan hidup manusia itu sendiri. "Maka akan tinggal menunggu kehidupan itu menjadi kehancuran yang nyata dan abadi," ujarnya. Sebaiknya, semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat dan lainnya harus segera sadar akan bahaya penghancuran rumah kehidupan ini.

Semakin penghancuran ini terus terjadi, maka akan semakin cepat kelumpuhan kehidupan itu datang. Menurut dia, sebaiknya juga, segera dilakukan penataan hutan alam dengan pengawasan yang ekstra, tidak ada lagi pembakaran atau alihfungsi kawasan hutan, baik itu menjadi perkebunan ataupun tanaman industri. Karena menurut dia, hal itu sama halnya dengan penghancuran rumah kehidupan secara tidak langsung namun nyata.

Sejumlah pemerhati menyatakan, peristiwa kebakaran lahan dan hutan di Riau telah berlangsung sejak tahun 1990, namun terparah terjadi pada 1997, ketika itu kabut asap pekat hanya menyisakan jarak pandang maksimum 20 meter.

Sejak saat itu, sejumlah pihak mengakui kabut asap di Riau secara terus menerus melanda Riau bahkan terjadi setiap tahunnya. Paling heboh terjadi pada 2013, dimana kabut asap Riau juga mencemari ruang udara di beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Awal tahun 2014, bencana kabut asap telah kembali melanda, hingga mengacaukan aktivitas masyarakat, mulai dari pendidikan, perekonomian, hingga kesehatan.

Bahkan hingga saat ini, peristiwa kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi hingga ancaman bencana kabut asap masih terus menghantui kehidupan masyarakat Riau.

0 comments:

Posting Komentar

 
Top